Problematika Profesi Nelayan

Penulis : Firmansyah, S.Pi (P3T Ahli Muda)

Indonesia merupakan negara maritim dimana terbentuk dari pulau-pulau di dalamnya sehingga juga dikenal sebagai negara kepulauan. Potensi kelautan yang kita miliki sangat besar baik potensi strategis maupun potensi ekonomi. Potensi ekonomi yang dimiliki yaitu dari sektor pariwasata maupun potensi perikanan. Untuk potensi perikanan, salah satu yang memberikan penghasilan bagi negara yaitu dari sektor perikanan tangkap. Berbicara tentang perikanan tangkap tentu tidak akan lepas dari profesi nelayan. Secara definisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

Berdasarkan definisi tentang nelayan, tidak dijelaskan bagaimana cara orang yang dikategorikan sebagai nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan. Sehingga siapapun yang melakukan kegiatan penangkapan ikan baik dengan menggunakan alat penangkapan ikan (API) maupun hanya dengan menggunakan tangan tanpa alat dapat dimasukkan sebagai nelayan. Sebagai contoh, orang yang menangkap teripang dengan cara menyelam dan mengumpulkan teripang tersebut hanya dengan tangan saja maka orang tersebut dikategorikan sebagai nelayan. Nelayan berdasarkan kepemilikan dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu nelayan buruh dan nelayan pemilik. Nelayan buruh adalah nelayan yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha penangkapan ikan. Sedangkan nelayan Pemilik adalah nelayan yang memiliki kapal penangkap ikan yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan dan secara aktif melakukan penangkapan ikan. 

Sedangkan pembagian kategori nelayan berdasarkan penggunaan waktunya dapat dibagi atas 3 yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan penuh jika usaha yang dilakukan sepenuhnya hanya sebagai nelayan. Dikatakan sebagai nelayan sambilan utama apabila nelayan tersebut memilki usaha lainnya akan tetapi usaha nelayan masih menjadi prioritas dan mengutamakan pekerjaan nelayan sebagai mata pencaharian utama. Untuk nelayan sambilan tambahan jika nelayan tersebut memiliki usaha lainnya dan usaha tersebut menjadi prioritas sebagai mata pencaharian dibandingkan pekerjaannya sebagai nelayan.

Terkadang masyarakat masih salah dalam mengkategorikan pekerjaan nelayan ini dan menyebut semua yang beraktifitas di seputar kegiatan penangkapan ikan sebagai nelayan, padahal pekerjaan tersebut tidak dikategorikan sebagai nelayan. Pekerjaan tersebut sebagai berikut : 1. Orang yang pekerjaannya membuat atau memperbaiki alat 2. Orang yang pekerjaannya mengangkut alat penangkapan ikan 3. Orang yang pekerjaannya mengangkut ikan 4. Anggota keluarga nelayan yang tidak aktif dalam operasi penangkapan ikan Sebagai negara maritim, tentu saja jumlah nelayan yang ada di seluruh wilayah Republik Indonesia cukup besar.

Saat ini salah satu organisasi yang mewadahi nelayan di seluruh Indonesia yaitu Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Berdasarkan data yang dilansir di laman dataindonesia.id, Kementerian Dalam Negeri pada Tahun 2022 mencatat jumlah nelayan di Indonesia sejumlah 1,27 juta orang yang jika dibandingkan dengan tahun 2021 terdapat penurunan jumlah nelayan sebesar 5,22%. Fenomena penurunan jumlah nelayan di negara kita tidak lepas dari perhatian Pemerintah, dalam hal ini oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Saat ini KKP dengan tagline nya “Bangga Jadi Nelayan”, sedang gencar-gencarnya dikampanyekan di seluruh nelayan-nelayan di wilayah Indonesia. Di setiap kesempatan, hal ini selalu disampaikan untuk meningkatkan semangat nelayan agar terus melanjutkan profesi yang mereka jalani saat ini. Kampanye inipun tidak hanya dilakukan oleh KKP saja, namun juga dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan di tingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten. Hal ini memang patut dilakukan melihat kondisi saat ini dimana jumlah nelayan selalu mengalami penurunan.

Saat ini banyak anak-anak nelayan yang tidak lagi ingin meneruskan profesi dari orang tua mereka, sehingga jika ini terus berlangsung, boleh jadi maka Indonesia akan krisis jumlah nelayan padahal profesi nelayan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan protein yang bersumber dari laut. Banyak dari anak-anak nelayan yang saat ini telah mampu mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari rata-rata orang tua mereka yang berprofesi sebagai nelayan dan lebih memilih pekerjaan lain dibandingkan meneruskan profesi orang tua mereka.

Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 juga disebutkan definisi tentang Nelayan Kecil. Dijelaskan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Terkait dengan ukuran GT ini, terkadang terdapat perselisihan tentang definis dari nelayan kecil. Hal ini terjadi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Undang-undang perikanan tersebut mendefinsikan juga bahwa Nelayan Kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gross ton (GT). Sehingga Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Perikanan Kabupaten sering kebingungan untuk menentukan yang mana yang dikategorikan sebagai nelayan kecil sebagai tugas dari Dinas Kabupaten yang diserahkan tanggung jawab untuk mengurusi nelayan kecil. Jika di persentasekan, maka jumlah nelayan kecil memang lebih besar.

Profesi nelayan memang merupakan salah satu pekerjaan yang jarang dilirik orang sehingga rata-rata mereka hanya meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Hal ini memang cukup wajar, karena pekerjaan ini memang membutuhkan keterampilan serta keberanian dalam menjalankannya karena resiko dari pekerjaan ini yang tinggi (high risk). Berbagai permasalahan juga sering dihadapi oleh masyarakat nelayan. Masalah yang umum dijumpai adalah kondisi lingkungan dimana masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan tinggal. Hampir di seluruh wilayah dimana nelayan-nelayan ini hidup, lingkungan tempat tinggal mereka selalu lekat dengan predikat kumuh. Sehingga terkesan tempat tinggal mereka jauh dari kata sehat.

Masalah lainnya yang juga sering terjadi di nelayan kecil yaitu persoalan manajemen usaha mereka, sehingga terkadang apa yang mereka dapatkan dari hasil penjualan ikan hasil tangkapan hanya cukup untuk membayar biaya-biaya yang mereka keluarkan untuk kegiatan penangkapan ikan dan kebutuhan hidup sehari-hari dimana banyak dari nelayan yang menggantungkan kebutuhannya dengan cara meminjam karena tidak ada simpanan yang mereka sisihkan dari hasil penjualan ikan tangkapan mereka. Masalah sarana juga menjadi persoalan yang terjadi pada nelayan khususnya nelayan kecil. Rata-rata nelayan kecil menggunakan sarana penangkapan ikan yang sederhana sehingga hasil yang mereka peroleh juga tidak banyak.

Dengan kondisi tersebut, praktis nelayan kecil hanya dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan pada daerah penangkapan yang hanya berada di wilayah pesisir saja. Hal ini tentunya menjadi kendala untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimal karena dengan potensi di wilayah pesisir yang sudah terbatas sementara hampir semua nelayan kecil melakukan aktifitas penangkapan ikan di wilayah yang sama, tentunya akan terjadi persaingan karena adanya effort yang tinggi sementara potensi ikan terbatas. 

Masalah lain yang dihadapi nelayan adalah permasalahan BBM, dimana Nelayan kecil sulit mendapatkan BBM bersubsidi walaupun sudah diberikan surat rekomendasi pembelian BBM dari Dinas terkait sesuai aturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH-MIGAS). Sehingga untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan, nelayan harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk membeli BBM non subsidi khususnya minyak solar.

Maraknya kegiatan illegal fishing seperti penggunaan bom ikan serta bius juga semakin menyusahkan nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan. Penggunaan bom ikan yang sering dilakukan di sekitar terumbu karang menyebabkan tidak hanya sumberdaya ikan yang diambil secara tidak bertanggungjawab, namun juga menyebabkan kerusakan parah pada lingkungan dimana seharusnya ikan hidup dan berkembang biak. Akibatnya karang yang juga berfungsi sebagai nursery ground atau tempat ikan membesarkan anak-anaknya sudah tidak ada lagi dan berakibat pada menurunnya hasil tangkapan nelayan.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana kewenangan pengawasan sumberdaya kelautan perikanan ditarik sepenuhnya dan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, membuat praktek Illegal Fishing ini semakin marak karena Pemerintah kabupaten merasa bahwa kegiatan illegal fishing yang terjadi di wilayahnya bukan lagi menjadi urusannya.

Di beberapa wilayah di Indonesia dimana terdapat aktifitas pertambangan yang berada di sekitar wilayah perairan lautnya semakin memperparah kondisi lingkungan yang berimbas kepada menurunnya jumlah hasil tangkapan nelayan karena perairannya tercemar oleh adanya aktifitas pertambangan. Salah satu contohnya yang terjadi di wilayah Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Kolaka yang memiliki cadangan nikel menjadikan Kabupaten Kolaka banyak dilakukan aktifitas pertambangan.

Efek positif dengan banyaknya aktifitas pertambangan dimana dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan, menjadikan kebutuhan akan tenaga kerja lokal juga banyak dicari karena ini merupakan salah satu syarat yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan tersebut untuk berinverstasi. Namun hal ini berdampak pada menurunnya produksi hasil tangkapan, karena cukup banyak masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan memilih untuk ikut bergabung menjadi karyawan pada perusahaan-perusahaan pertambangan yang ada karena mereka tertarik akan perolehan pendapatan yang sudah jelas dibandingkan hanya menjadi nelayan yang penghasilannya tidak dapat diprediksi dengan kondisi saat ini. Kalaupun mereka tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan, maka mereka melakukannya hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya saja dan tidak lagi menjadikan prioritas untuk mendapatkan penghasilan.

Firmansyah